Serangkaian acara webinar menuju International Women’s Day bertema “Tak Ada Pembebasan Kelas, Tanpa Pembebasan Perempuan” diawali pada Jumat (26/2) lalu lewat platform Zoom. Acara yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria Jakarta ini bertajuk pembicaraan publik Gerakan Perempuan Indonesia, digelar sebagai wadah ekspresi juang dan bunyi-bunyi perempuan Indonesia dalam melawan kekerasan dan diskriminasi. Kumpulan ekspresi juang ini akan slot gacor hari ini dimuarakan dalam deklarasi tuntutan politik perempuan terhadap negara pada Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2021.
Perayaan Hari Perempuan Internasional tahun ini sekalian menandai 26 tahun semenjak munculnya gerakan kesetaraan global, sebuah deklarasi yang menyepakati dan memperjuangkan hak-hak perempuan yang menjadi komponen dari hak asasi manusia. Nuy Lestari dari Koalisi Perempuan mengulas seputar perkembangan kepemimpinan perempuan dalam politik.
“Dari sisi demokrasi, di Indonesia mulai ada koreksi merupakan hak politik perempuan telah mulai diakui dengan adanya kuota 30% perempuan di parlemen. Malahan sekiranya mengacu dari data realisasinya di 2019 dapat dikatakan partisipasi perempuan membaik sebesar 20,5%. Tapi sekiranya kita menilik kiprah citra perempuan di ranah parlemen dapat dibilang masih banyak hal yang seharusnya direvisi,” ungkap Nuy.
Lebih lanjut, Nuy menekankan akan pentingnya pengajaran politik perempuan untuk menimbulkan kepemimpinan politik perempuan dalam negara. Karena tak dapat cuma menampilkan pembangunan peran besar politik perempuan, tanpa ada pengajaran politik yang komprehensif.
Kemudian, Mutiara Ika Pratiwi dari Kelompok Perempuan Mahardika menceritakan bahwa kekerasan sistematis kepada perempuan disebabkan oleh sedikitnya tiga hal.
Pertama, sebagai sebuah perwujudan poin patriarki dan poin hetero-patriarki yang menempatkan perempuan sebagai manusia kedua atau obyek yang secara segera mengutamakan heteroseksual cisgender sebagai pemegang diktator. Kedua, poin-poin hetero berprofesi secara terjadwal sebagai lembaga berwujud kebijakan yang membatasi ranah publik dan privat, dengan produknya merupakan undang-undang, sikap politik, etika sosial, dan lain sebagainya.
Ketiga, kekerasan kepada perempuan yang disebut sebagai kekerasan sistematis sebab diselenggarakan lewat sistem-sistem militerisme yang tentu tak cuma dihadapi oleh perempuan melainkan juga oleh gerakan sosial secara lazim.
Berdiskusi soal kapitalisme, dia mempersembahkan bahwa rantai kekerasan kepada perempuan ini susah diputus. Salah satunya sebab jantung pendayagunaan kapitalisme bergantung pada eksploitasi atas kerja dan tubuh perempuan secara khusus di masa pandemi. Menurutnya, rantai kekerasan kepada perempuan ini cuma bisa diputus oleh persatuan nasional.
“Hal ini makin menonjol selama pandemi dengan meningkatnya keadaan sulit kekerasan dalam rumah tangga kepada perempuan, bagaimana pemerintah mengadang-gadang soal iklim pensupport investasi di mana semuanya mengaplikasikan kekuatan kerja murah perempuan. Kecuali itu bisa kita lihat bagaimana sektor padat karya memperoleh serangan dan pelemahan lagi berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang terkini dengan banyaknya sektor pekerjanya merupakan perempuan,” terang Mutiara.
Berikutnya, Asfinawati dari Yayasan Institusi Bantuan Regulasi Indonesia menyuarakan perlunya bidang aturan yang melindungi perempuan. Termasuk dilema yang acap kali kali dialami perempuan dari bermacam sektor seperti lingkungan, pengajaran, keluarga, dan lain slot888 sebagainya yang sesungguhnya seluruh berprofesi layak aturan merupakan aturan negara, aturan tradisi, malah aturan di masyarakat.
“Sehingga sesungguhnya aturan positif yang berlaku di suatu negara pada suatu waktu senantiasa mempunyai dua wajah, merupakan bagaimana aturan itu memperhatikan dan bagaimana negara memperhatikan perempuan. Profesi faktual ada sebuah kemendesakan bagi aturan yang melindungi perempuan dan sesungguhnya negara mempunyai keharusan bagus secara konstitusi ataupun di dalam keharusan negara Indonesia sebagai negara pihak konvensi internasional,” ujarnya.
Lini Zurlia dari Purple Code dalam hal ini mengulas seputar demokrasi dan penindasan seksual yang dia kasih judul Masyarakat Kapitalis merupakan Sumber dari Penindasan Gender dan Seksualitas.
“Kapitalisme menyusun sebuah seksisme dengan memisahkan mana profesi yang mewujudkan manusia dan mana profesi atau kegiatan yang menjadikan profit. Kapitalisme memberikan profesi menyusun manusia dibebankan pada perempuan sembari menyubordinasi posisinya pada profesi produksi yang diperhatikan sebagai ladang untuk mengeruk profit,” terang Lini.
Tetapi mewujudkan manusia yang dimaksud merupakan reproduksi sosial, seperti mengandung, melahirkan, menghidupinya, dan mengajarkannya membaca. Hal itu merupakan profesi-profesi yang benar-benar vital dalam menyusun manusia. Tapi, lagi-lagi dalam kerangka kapitalisme kegiatan menyusun manusia bukanlah kegiatan yang menguntungkan. Menyiapkan manusia justru diproyeksikan sebagai menyiapkan perpanjangan profit bagi klasifikasi modal.
Oleh sebab itu, dalam momentum peringatan Hari Perempuan Internasional terus-menerus diserukan rencana-rencana yang sampai kini belum juga dilakukan oleh pemerintah, malah kian buruk di lapangan, di mana kriminalisasi, penangkapan, diskriminasi hak, termasuk kebebasan berserikat bagi kaum tani dan buruh perempuan masih acap terjadi. Sehingga dalam momentum ini, diinginkan bisa memperkuat konsolidasi, solidaritas lintas gerakan, dan slot demo wild west gold persatuan nasional bagi terwujudnya kesetaraan segala rakyat.